The Jingklong: Tentang Doa dan Cerita
Sumber gambar: https://cdn.pixabay.com/photo/2015/04/13/09/22/alive-720231_960_720.jpg
Sore itu, 05
Juli 2016, aku memastikan diri menatap jarum jam agar tampak sibuk; bahwa waktu
masih lama ia bersua angka 17.35, dua jam setengah menjelang magrib. Aku
memilih duduk dan menatap layar laptop untuk menyelesaikan PR yang sengaja
kubuat demi menghapus dosa ‘kesibukan’ takala aku memilih mengerjakan skripsi
dan novel dibandingkan datang ke kelas penyuntingan di Kedai ABG Semarang yang
kini sementara tutup.
Saat ini aku ‘terdampar’ di sisi selatan Jawa Timur, Ponorogo, tempat
kelahiran dan kedewasaan. Aku memutuskan pulang/ mudik hari minggu (03 Juli
2016) demi menuntaskan kerinduan yang meletup dan menyelesaikan kewajiban;
memberi tahu kepada orangtua bahwa tugas sebagai seorang pencari ilmu akan
selesai. Semoga.
Telepon genggam yang tergeletak di
atas meja mendadak berbunyi, tanda sms
masuk. Konsentrasiku buyar sesaat ketika mendapati teman dekat SMA ‘memilihku’
untuk berkumpul dengan teman yang lain setelah berbuka puasa nanti. Len, itulah
nama yang bersedia mengirim pesan padaku.
“Koe
gelem tak jak?”(Kamu mau aku ajak?) tanya Len, lawan bicaraku di sms.
“Gelem,
ape neng ndi e?” (Mau, ke mana memangnya?) balasku.
Sepuluh menit aku menunggu balasan
dari Len dengan menyulam bahagia yang terpampang jelas di raut muka. Alasannya,
sudah tentu reuni teman SMA akan mengurangi kebosanan di rumah dan menemukan
cerita baru dari kepala mereka.
“Ngalor,
nyang o mahku sek,” (Ke ‘utara’[1],
ke rumahku dulu) balas Len, memastikan tujuan.
“Walah,
aku ra ono motor e. Ono ne mobil, aku ra iso nyetir. Jemput wae ya? Bensin mbi
rokok, gampang” (Aduh, aku tidak ada motor. Adanya mobil, aku tidak bisa
mengemudikan. Jemput ya? Bensin dan rokok, santai)
Dua menit berselang, “Yo, bar maghrib tak jemput” (Ya, setelah
magrib aku jemput) jawaban singkat Len.
Rumahku –meski belum/ tidak
mendapatkan hak milik- memang jauh dari kota, membutuhkan waktu empat puluh
lima menit (sebelah selatan tujuh kilometer dari perbatasan Ponorogo–Pacitan)
dan Veda, berupa motor pun sengaja kutinggalkan di Semarang agar tak mendapat
komentar dari bapak dan ibu. Lalu, jam dinding memberi tanda serupa adzan
magrib yang saling beradu irama, ia tak lebih harapan yang selalu ditunggu
ketika bulan puasa berkunjung. Tak ada menu istimewa tersaji di meja, hanya
opor ayam yang selalu menjadi pilihan, sisanya sayur sop, dan tempe goreng.
Istimewa atau tidak merupakan pilihan sekaligus jarak untuk mendapati cela di
antara kerinduan dan kebaikan seorang ibu. Aku sungguh menikmati senyuman dan
pelukan ibu dibanding ragam masakan di meja makan.
Ponorogo Selatan di penghujung usia
maghrib tidaklah sepadat Semarang, hanya dua sampai lima kendaraan saling
silih-berganti, mereka membuka muka dan mencicipi empedu berupa harapan yang mereka
sematkan di pundak, menjadi seorang yang melakukan hal-hal bodoh; mereka
mengiakan dan sibuk.
Pukul 18.35 waktu bagian Ponorogo, tanda Len akan berkunjung menjemputku
setelah kuberitahu bila aku baru saja pulang dari masjid demi mengantar
sedekah/ sembako untuk zakat fitrah.
“Aku
wes neng omah, reneo.” (Aku sudah di rumah, kemarilah).
Pesan singkat yang kukirim padanya,
tanpa perlu memberi balasan.
Lima belas setelah sms terkirim, terdengar suara deru knalpot
dari beranda rumah. Len telah sampai, berpakaian simpel; celana pendek, helm,
dan berjaket.
“Sudah mau berangkat, Mas?” tanya
Ibu, memastikan.
“Iya, Bu. Temanku sudah menunggu di
depan,” balasku dan menghampiri beliau untuk memeluk punggung tangannya yang
tengah menikmati hidangan biasa, televisi yang selalu menjadi candu hiburan dan
kebodohan.
“Ya sudah. Jangan pulang terlalu
malam. Ingat malam ini takbir berkumandang. Dan jangan lupa berpamitan dengan
Mbah, Om, dan Bulik”
“Sudah, kok, Bu! Aku berangkat dulu,
assallamu allaikum.” Aku berpaling
dari tatapan beliau menuju Len yang tengah sibuk dengan smartphone milikinya.
“Wallaikum
salam”
Tak perlu menunggu waktu lama:
setelah ibu memberi penawaran kepada Len untuk singgah sesaat, komunikasi
langsung antara aku dan Len di atas motor seakan meletup sebagai tanda melepas
rindu yang tertekan kerna lama tak bersua. Tujuh bulan, tepatnya. Dalam proses
perjalanan, sekian kali kami saling lempar tanya-jawab. Antara pertanyaan
penting dan jawaban tak begitu penting.
“Ngko
seng ape teko sopo wae?” (Nanti yang akan datang siapa saja?) tanyaku
mengeraskan suara di antara deru knalpot dan angin yang menampar kami.
“Mung
cah limo, sak awake dewe.” (Hanya anak lima, termasuk kita)
Len hanya mampu menjawab singkat, ia
menoleh ke belakang sesaat. Setelahnya, ia kembali menatap jalanan yang
mengarah kepada ingatan tentang masa SMA--ramai jalan. Aku bahagia mampu memecah
rindu yang kerap membatasi kegiatan serupa hal-hal yang tak besar, bercerita bersama
ketika masa SMA. Mungkin saja Len merasakan hal yang sama, pun kami memiliki
latar-belakang -malam ini- yang berbeda. Seperti urusan pakaian, ia tampak
santai dan tak memilih. Sedangkan diriku lebih menyukai pakaian serba hitam dan
bersepatu.
Di perempatan terakhir, sebelah
barat alun-alun Ponorogo yang benar-benar ramai oleh kendaraan dan makhluk
bernama manusia. Mereka saling berganti menjajakan cerita, membagi doa, dan
membeli sesuatu sesuai kegemaran. Seperti yang ibu katakan perihal hiruk-pikuk
manusia, bahwa “Keramaian merupakan
potongan sepi yang diinkubasi”. Ya, mereka adalah kumpulan sepi, dengan
laju kesibukan menatap layar smartphone
seolah tak menghiraukan keadaan.
Pukul 19.10 waktu bagian Ponorogo, kami tiba di tempat tujuan berupa kafe yang ‘memiliki’ potongan-potongan container sebagai ruangan untuk
menikmati hidangan; makan-minum dan cerita. Kegiatan selanjutnya setelah
memesan kopi dan lemon tea, ialah
menghubungi ketiga manusia yang akan menyusul kami. Len bertugas menghubungi
mereka.
“Mereka nyusul jam delapan, Ja,” ujar Len padaku setelah mendapat pesan
melalui aplikasi Blackberry Massanger.
“Oke, ditunggu wae”
Hidangan yang kami pesan telah
sampai, aroma kopi racikan menyeruak di bulu-bulu hidungku tanpa mengetuk permisi. Sembari
menikmati suasana cafe yang masih
sepi, aku dan Len saling berbagi cerita setelah lama kami tak melakukan
semenjak tujuh bulan yang lalu, Desember. Lagu dari Jhon Legend berjudul All of Me mengalun perlahan di sela-sela
obrolan kami berdua, pun cerita kami tak jauh beda dengan All; semua.
“Dirasa Teng pernah bercerita
tentang kucingmu yang sempat hilang?” tanyaku pada Len.
“Eee, iya. Kapan koe ketemu ambi Teng?”
“Kemarin aku bertemu dengannya, di
tongkrongan cabang Slahung.”
Len memotong, “Saat ini telah berada di pelukan seorang perempuan,”
“Alah, pacarmu pasti!”
Len menanggapi dengan tawa, “Hahaha”
Tentang Teng, ialah teman sejawat kami dan teman satu angkatan di SMA. Ia
tak sempat hadir kerna kesibukan telah mendatangi lebih dahulu.
“Bagaimana kabar pacarmu, Ja?”
“Syukurlah, kabar baik. Semoga suatu
saat nanti bila kita bertemu, pertemuan dengan jodoh masing-masing”
“Ha-ha-ha, amin. Koe wes serius, aku iseh mboh”
ujar Len, tertawa dan melemparkan bungkus rokok yang tak berisi padaku.
Obrolan kami tak lepas dari hal-hal
yang ringan. Tentang kehidupan sehari-hari, cita-cita, dan jodoh. Kami memahami
bila usia saat ini cukup pantas bila ‘menjalani’ kehidupan baru seperti
teman-teman satu angkatan SMA: mereka lebih dahulu menikah atau kami yang
terakhir memilih menikah. Dan menjadikannya keabadian (menikah) urusan nanti,
biarkan waktu memberi pilihan dan jawaban.
Satu jam kami menunggu kedatangan
ketiga Power Rangers lainnya. Acap
kali Len mengumpat kesal -sesungguhnya ia/ kami ingin segera bertemu mereka-
kerna sekian tahun tak selalu berkumpul. Kuh, Tih, dan Nda selalu membalas
pesan Len dengan kata yang sangat singkat, ialah OTW. Pun kami mendapat kesimpulan bahwa OTW memiliki singkatan: Oke Tunggu Wae. Sembari menunggu kedatangan
mereka, hidangan lain berupa alunan musik dari John Legend berjudul All of Me melewati lubang telinga kami,
menyusup perlahan dan menggiring kami pada ketenangan sesaat.
Kenikmatan kopi tak lebih dari candu
abadi yang diberikan dari keringat para petani. Sayang, kopi kualitas unggulan ‘memilih’
dilempar ke luar negeri. Sedangkan untuk penikmat dalam negeri hanya mengecap
kopi sisa atau kopi pilihan ke dua. Ketimpangan macam ini dirasa tak adil –untuk
petani- bila berkaca pada Indonesia, merupakan negara ke tiga terbesar
penghasil kopi. Selain menikmati ‘keringat’ petani, kopi merupakan media ampuh
untuk berbagi cerita, bukan sebagai media pengklasifikasian kelas yang tampak
jelas dari kesibukan para penikmat yang memilih menatap layar smartphone dibandingkan berbagi cerita. Maka,
esensi ngopi sebagai budaya Indonesia
telah lutur akibat perilaku yang dilakukan oleh penduduknya.
Satu jam menunggu, Len dan aku diserang
gelisah. Menanti kedatangan tiga manusia yang kian lama tak kunjung muncul.
Kopi milikku menyisakan setengah cangkir, lemon
tea milik Len tinggal dua kali tegukkan.
Sontak lamunanku pecah, Len
kerasukan dan mengucap kalimat nan indah, “Asu!
Lah kae wonge.” (“Anjing! Itu orangnya”). Disusul tawa dari Len.
Lelaki berperawakan 173 senti meter
dan berkacamata mendekati kami
“Sori, aku nunggu Tih. Ternyata wonge
dijemput mbi Nda,” ujar Kuh dengan
senyum yang dilempar tanpa rasa bersalah. Ia langsung bersalaman dengan kami
berdua.
“Artis, kudu macak” (“Artis, harus
berdandan”) balas Len tak kalah hebat menyerang Kuh.
“Hahah! Artis anyar kok” tawa Kuh menutup cercaan yang dibuka oleh Len.
Aku hanya menangkap dan menikmati
cercaan mereka berdua, sepasang lelaki yang memiliki cara sendiri untuk
melampiaskan rindu tanpa perlu berpelukan. Memang, Kuh mendapatkan hak sebagai
mahasiswa seni musik di Yogyakarta dan mendirikan band ternama di sana.
Kesimpulan yang kami (aku dan Len) dapat, artis tak masalah kalau datang lama
atau terlambat kerna mempersiapkan diri, terlebih perihal penampilan.
“Pie
kabare, Ja?” tanya Kuh setelah menulis apa yang ia pesan di kertas dan
memberikannya kepada pelayan.
“Kabarku santai, tak banyak
perubahan alias sehat.” jawabku sembari menyalakan korek untuk rokok yang
tengah menunggu di mulut.
Len tampak sibuk menghisap lalu
melempar asap rokok ke udara, kami saling pandang memecah suasaan yang ragu
ingin kami apakan. Satu menit kami bertiga berdiam diri. Aku ingat, bila
beberapa waktu yang lalu sempat terjadi pembubaran diskusi film di salah satu
kampus kawasan Yogyakarta -oleh ormas agama dan beberapa kalangan- yang tak
setuju dengan konten yang dibahas dalam film Pulau Buru Tanah Air Beta. Aku
ingin memastikan pada Kuh, benarkah di Yogyakarta kegiatan diskusi sampai hati
dibubarkan hanya karena pihak lain tak setuju.
“Eh, Kuh. Ndak bener, di Yogya sempat terjadi pembubaran acara diskusi?”
tanyaku.
Kuh memandangku, menyulut rokok yang
tengah ia sumpalkan di mulut, “Heeh, akhir bulan Juni sempat terjadi pembubaran
diskusi dan berimbas di konser musik yang pernah dibubarkan oleh aparat karena
ketakutan mereka akan penggiringan opini,”
“Wah, hal macam ini amat
menyedihkan,” balasku.
“Bener, lah meh pie, kondisi saat ini tidak memberi penawaran bagi ruang
kritis.”
Sebelum kami memperpanjang topik
pembicaraan, Len sibuk dengan ‘umpatan’ rindu terhadap dua perempuan yang tak
kunjung datang.
“Ncen.
Wedok ki sui yen macak!” (“Benar.
Perempuan bila berdandan pasti lama!”) ujar
Len menghentikan pembicaraan kami berdua.
“Makane,
pacaran mbi lanang wae” (“Makanya, pacaran dengan lelaki saja”) tawar Kuh
kepada Len.
“Yen
lanange koyo koe yo podo wae. Mending jomblo sak lawase!” (“Kalau lelakinya
seperti kamu sama saja. Lebih baik jomblo seterusnya) Len selalu membalas
ucapan Kuh.
“Ha-ha-ha-!” kami kembali tertawa.
Waktu mulai berpaling, malam
benar-benar datang di penghujung bulan puasa saat keramaian kota mulai tampak. Di saat keramaian
lalu-lalang manusia, sesekali kami menyelediki dengan memasang mata tiap
langkah lalu-lalang, mungkinkah terdapat wujud perempuan berjilbab, berat badan
kisaran lima puluh kilogram, tinggi sekitar 160 senti meter dan satu perempuan
lagi, kombinasi Tionghoa-Indonesia, tinggi 165 senti meter, kulit putih.
Setengah jam kami sibuk berbagi asap, menyulam ingatan masa SMA, dan sibuk
memasang mata. Waktu menjawab, Tih dan Nda sampai juga di tempat penantian yang
kami ciptakan. Maka berakhirlah sudah tugas kami sebagai tim penyelidik
sekaligus detektif.
“Sori, sori. Aku tadi menunggu Tih
menjemput,” ujar Nda meminta kami untuk memberi maaf padanya.
“Alah,
macak nganggo sui. Selak aku tuo!” (“Alah, berdandan pakai lama. Keburu aku
tua!”) balas Len serupa lelaki tua yang gagal mendapat obat perangsang saat
ia tak ingin menerima permintaan maaf Nda
“Koe
nembe mens po, Len?!” (“Kamu baru saja mens ya, Len?!”) pertanyaan sindir dariku.
“Len
mens’e lewat e ra seko ‘iku’. Tapi lewat irung” (“Len mens lewatnya tidak
dari ‘iyu’. Tapi lewat hidung”) potong Tih yang geli melihat mereka berdua
beradu otot, meski sesungguhnya mereka tengah menimang rindu dan tak pandai
menggelabui perasaan: bila rindu pantas dilunasi dengan cara bertemu. Pun rindu
yang benar-benar rindu ialah saling berbagi doa tanpa perlu berjumpa.
“Pantes, jomblo. Hahaha!” sanggah
Kuh tak ingin kalah mencaci Len.
“Ha-ha-ha!”
Kami saling balas dan berbagi tawa, sampai beberapa pengunjung membuka
lembar mata dan berusaha menutup telinga mereka dari kegaduhan. Lantas, anggapan aneh dari pengunjung lain ~tanpa
inisiasi dari siapapun~ menjadi bagian yang tak kami hiraukan.
Kami sadar betul bila tawa yang kami
hasilkan merupakan tawa yang terpendam kerna waktu tak ingin mempersilakan kami
untuk segera bertatap muka. Maka, tawa merupakan cara tepat untuk mengatakan “Bila aku rindu kalian”
Tih dan Nda diberi selembar daftar
menu, untuk kesekian kalinya perdebatan tak kunjung usai antara Len dengan Nda
~entah skenario sinetron macam apa yang mencipta dua kepala manusia ini untuk
berselisih paham selalu. Tih menunggu giliran mengutarakan inginnya, Nda yang
sibuk memutuskan menu yang akan ia cicipi. Len sibuk dengan omelan bahwa
perempuan ditakdirkan berlama-lama perihal memutuskan sesuatu. Aku dan Kuh
hanya menikmati kegaduhan ini dengan tawa dan umpatan bodoh: kerna cinta tak
selalu diberi bunga. Umpatan termasuk cara lain menyampaikan atau mengatakan cinta.
“Alah, sui. Aku nambah lemon tea,”
potong Len di sela perdebatan kecil antara dirinya dengan Nda.
“Tih, tulis pesanan!” perintah Nda
kepada Tih dan berakhir pada kesiapan Tih menerima perintah.
“Aku nambah lemon tea, podo Len!”
giliranku mengutarakan keinginan.
‘Oke. Ja dan Len nambah lemon tea. Koe opo, Kuh?” tanya Tih selaku juru tulis pesanan.
“Hahah. Aku nanti saja, Tih.
Gampang!” balas Kuh tak tertarik dengan pertanyaan Tih.
Selagi mereka sibuk memilih menu
yang akan disantap. Dering telepon genggam yang sempat tenar di tahun 2007-an
mendadak menampilkan sebuah pesan dari seseorang yang tengah sibuk merangkai
rindu: sebab jarak memisahkan aku dan dia, seperti halnya jarak (sempat)
memisahkan kami berlima pula. Pesan yang dikirim tertulis tentang pertanyaan kapan
waktu dapat membuat aku dan dia saling menemukan demi mengikat rindu kembali.
Entah.
Akhirnya, perdebatan jangka pendek
terselesaikan setelah Nda menemukan menu yang cocok untuknya dan untuk kami:
singkong goreng dilumuri keju dan sosis bakar dioleh saus. Perempuan selalu
lihai memuaskan lelaki dengan pilihannya.
Sembari menunggu hidangan yang
dipesan, obrolan seputar basa-basi kehidupan kami mengisi keramaian cafe yang didekorasi menggunakan
potongan box kontainer ala old school. Lima belas menit kami
menunggu, ronde kedua dimulai mencicipi hidangan yang disajikan di atas meja.
Sesekali lantunan lagu dari band asal Jepang, One Oke Rock memberi ragam
suasana bagi kami.
Percakapan perihal kenangan masa SMA
menjadi topik paling kini, selain membicarakan teman satu angkatan yang telah
menikah dan mempunyai seorang anak. Lalu memnceritakan dengan siapa saja kami
memiliki pasangan sesaat, sampai pada Kuh yang diminta untuk bersabar kerna
seorang mantan pasangan telah bersedia menikah dengan lelaki pilihan terakhir dan
hampir mempunyai anak, hingga membicarakan guru dari yang bersikap baik hingga
guru yang kadang tak bersikap baik kepada kami. Bagaimanapun juga, pertemuan
setelah waktu memisahkan kami mampu menjadikan aku dan mereka ~bahkan kita~
serupa pendongeng ulung. Saling merekonstruksi ingatan dan menceritakannya
kembali tanpa rasa canggung. Dan kesimpulan yang kudapatkan setelah berbagi
cemilan: kenangan. Aku mampu mengatakan bahwa kenangan merupakan pecahan atau
fragmen yang terpisah, dan bila disatukan mampu menghasilkan sebuah cerita,
bahkan sebuah kehidupan baru bernama rindu.
“Aku memiliki angan-angan bila suatu
saat nanti, hal yang kita lakukan ini ‘kan berlanjut kembali setelah kita
sama-sama menjalin kehidupan baru: menikah.” Potongku meyakinkan kepada mereka.
Len sedari tadi tampak acuh kini
tampak menengadah, entah harapan apa yang keluar dari pikirannya. Bisa saja
hal-hal banal atau hal baik yang sengaja ia rahasiakan dari kami.
“Tentu, Ja. Kelak dewe iki pasti kumpul dalam keadaan
berbeda,” sambung Len.
“Sepakat!” ujar Tih tak kalah
semangat.
“Asal kalian berdua lulus dan wisuda
terlebih dahulu. Soal jodoh tentu kita telah dipasangkan dengan seseorang.” Nda
menatapku dan Kuh.
Benar bila hanya kami berdua yang belum menikmati kecup manis ucapan
selamat wisuda. Pun Len sebenarnya tak peduli dengan hal-hal akademik. Namun ia
teramat yakin bahwa kehidupan ialah rahasia penuh tek-teki tanpa perlu
menyandarkan nasip di gelar.
Kuh meletakkan sisa rokok yang terkuras
habis, ia ingin melibatkan diri kembali dalam obrolan singkat ini, ‘Kalau
perlu, tiap kumpul berganti lokasi. Ojo
mung cafe terus. Bisa saja di rumah kita masing-masing.”
“Hahah. Pertama kali omahmu, ya?” tanya Len.
“Alah, muka gratisan!”
“Hahah!” kami tertawa bersama,
melemparkan tissu ke arah Len dan Kuh.
Waktu menginisiasi kesempatan kami segera selesai. Masing-masing meja di
tiap sudut cafe telah kosong. Akhir
dari perjumpaan malam ini ‘kan usai dengan segala cita yang kami simpan sendiri
selayaknya mata yang tetap menatap perpisahan..
Nda tanpa perintah bersedia menjadi penyokong dana malam ini, ia bersedia
menyelesaikan tanggungan tanpa perlu berdebat lagi.
Pukul 00.10 Waktu Indonesia Barat.
Perjumpaan kali ini telah usai. Sebelum berpisah, Nda mengatakan, “Kita ini
tak berbeda dengan jingklong. Satu
tempat tapi banyak peminat, satu tempat tapi memperkasai kita untuk kumpul.”
“Heleh. Nama yang kamu berikan aneh,
Nda!” sahut Len tak terima.
“Biar. Toh apalah arti sebuah nama,”
bela Tih.
Dan kami terpaksa sepakat.
Sesaat sebelum berpisah, kami
sengaja tak merencanakan perihal kapan berkumpul kembali. Bila kami amat
percaya dengan kebiasaan dari masing-masing kepala, rencana jangka panjang
belum pernah terwujud. Kerna kami selalu siap bila rencana jangka pendek atau improve. Asal kami sama-sama menempatkan
diri di rumah atau di sekitar Ponorogo.
•••
Nb. Ini fiktif, jangan percaya. Tidak semua percakapan dan perbuatan selama
berkumpul saya cantumkan/ tuliskan. Biarlah mengendap di ingatan masing-masing
dan mempersembahkan cerita ini untuk keturunan selanjutnya, terima kasih.
Semoga pertemuan selanjutnya menghasilkan cerita yang berbeda dan keadaan yang
berbeda; menikah, lulus, bekerja, dan menghasilkan keturunan. Amin.
Semarang, sejak
Juli 2016 hingga 16 November 2016.
Afriza Y. Ardias
Posting Komentar
0 Komentar