Perjumpaan; Menyulam Ingatan
Sumber gambar: https://i.pinimg.com/564x/b8/b2/07/b8b20736d989f1369664a470e264e089.jpg
Perjumpaan
ialah keputusan untuk memulai menulis di halaman pertama, tentang kondisi dan
hidup yang selalu mempunyai tetapi (seperti yang di katakan Aan Mansyur dalam Lelaki yang Terakhir Menangis di Bumi).
Maka perjumpaan kami telah terskenario epik dalam struktur kepanitiaan ospek
(orientasi studi)—yang kami sebut PPAK (Program Pengenalan Akademik dan
Kemahasiswaan) tingkat fakultas—semenjak pertengahan bulan Juni 2016, kami
telah dipersiapkan untuk mengemban misi ‘perjumpaan tak lazim’ dengan mahasiswa
baru Fakultas Bahasa dan Seni di bulan Agustus.Seperti yang saya katakan di
awal, bila perjumpaan ialah keputusan untuk memulai, lantas saya dipersilakan
menjadi seorang yang tua di divisi/ seksi humas bersama dua rekan lainnya, pun
tua yang lain telah disediakan oleh penanggung-jawab (PJ) di divisi/ seksi
lainnya. Mereka senasip dan sekeping seperti saya. Kerna keberadaan tua seperti
kami tidak untuk membuka pengklasifikasian senior dan junior, melainkan untuk
menyediakan kunci bagi mereka yang lebih muda, agar proses yang mereka bangun
dan mereka persiapkan lebih rinci dan terstruktur demi membuka pintu tanpa
gentar. Selain itu, kesediaan mereka untuk melempar rasa dan kepekaan satu sama
lain merupakan pondasi awal sebelum memulai mempersiapkan rangka, memahami dan
berbagi.
Setelah mengetahui posisi yang akan menentukan lalu-lintas informasi, saya
menantikan kedatangan rekan kerja lainnya yang berusia muda dibandingkan dengan
kami bertiga, –setidaknya mereka jauh lebih bebas daripada kami yang memiliki
tanggung jawab akan sisa waktu kuliah, ialah skripsi dan wisuda- berawal
sembilan muda yang tertulis di papan informasi bila mereka siap untuk
melanjutkan misi; menenun ide dan menyulam rasa.
Pertemuan pertama hanya penilaian subjektif yang lahir dan menerka,
benarkah mereka yang menjadi teman menghirup napas bersama selanjutnya, atau
sampai kapan mereka menakar janji untuk setia dari awal hingga akhir. Dan
kegundahan tumbuh sebagai pertanyaan yang menyimpan tanda tanya, lalu timbunan
pertanyaan tersebut dikupas oleh riang, direntangkan dalam perjalanan yang
berakhir enam yang muda, mereka berenam mengakhiri pertanyaan yang paling
jahat. “Bukankah cukup enam saja daripada sembilan yang (hanya) menyisakan
kekosongan dalam ramai?” tanyaku pada sebongkah ketakutan yang akarnya tak
ingin lepas. Mereka bertiga disisihkan oleh sistem yang lebih manusiawi,
seleksi alam.
Perjalanan kami makin berlanjut. Seperti tulisan yang pernah kulahirkan
perihal pilihan dan pertemuan. Bahwa kami tak lebih dari pilihan dan menunggu
keinginan serupa tantangan besar dalam kehidupan untuk menyulam rindu di masa
yang akan datang. Kami menciptakan ingatan dari masing-masing kepala. Kian
waktu makin mendekatkan kami, banyak pembicaraan yang keluar dan terbang lepas
tanpa batas. Antara senior dan junior.
Kesempatan berkumpul di awal hingga tengah tak memihak pada mereka, Titus
dengan berat hati meninggalkan mereka kerna perjuangan lainnya menunggu, PPL.
Sedangkan Hoho/ Agung Nugroho tengah sibuk latihan paduan suara. Dan Dea,
keadaan ibunya meminta Dea untuk tetap menjaga meski untuk sementara saja.
Tersisa tiga muda, Dika, Tiya, dan Eka. Tiap hari mereka memiliki alasan untuk
bertatap muka denganku, Faris, dan kadang bila sempat dengan Peda. Entah
berbicara perihaljob desc atau
melempar tawa bersama.
Sangat ingat tentang pernyataan yang sering Dika ucapkan. Tentang siapa ia sesungguhnya
dan untuk apa ia ada di struktur kepanitiaan. Kami putuskan tanpa perlu tanda
tangan. Bila Dika merupakan—keturunan—filsuf kelahiran abad modern bersamaan
dengan kelahiran gawai (gadget).
Alasan mengapa kami mengatakan bila Dika seorang filsuf, kerna apa yang ia sampaikan
mendorong kami (yang mendengarnya) untuk melakukan metode investigasi terhadap keadaan di
luar nalar dan logika di dalam, lalu memacu kami secara intelektual tentang
topik pembahasan yang ia (Dika) sampaikan. Percayalah, sempatkan diri untuk
bersua dan bercerita dengan Dika.
“Aku malaikat tanpa sayap. Suatu saat nanti bila sayapku kembali, akan
kubawa kalian terbang dan aku sebenarnya ditugaskan untuk membahagiakan kalian,”ujar
Dika yang sibuk menatap kami. Seulas senyum terbingkai rapi di bibirnya.
Kami terdiam tak mengerti. Lambat-laun kami memaksa otak untuk berpikir
lebih tentang ucapan yang disampaikan oleh Dika.
“Apa sih, Dik!” tolak Tiya.
“Koe ra tak jak, Ti” balas Dika
tak peduli.
Dika tak peduli, ia melanjutkan, “Humas memiliki malaikat dan kalian bagian
malaikat juga. Meski tanpa sayap.”
“Aku nggak paham, Dik.” Potong
Dea.
“Ha-ha-ha” kami berempat saling bertatapan (Dika, Tiya, Eka, aku) dan
menghempaskan tawa—ke seluruh ruangan—setelah puas menyaksikan kekurangan yang
sengaja kami tampilkan. Kepolosan dan kekonyolan.
Ya, bagaimana rasanya berkomunikasi dan bertatap muka dengan mereka tiap
hari, seolah fantasi yang tak terbendung mereka lakukan. Kelelahan dan kurang
tidur menjadikan mereka makhluk yang tak dapat dikira-kira. Terpingkal-pingkal
kerna suasana.
Dika sebagai mahasiswa berlatar belakang seni musik tak ingin kalah dalam
urusan menyampaikan opini meski hambatan yang ia miliki ialah apa yang ia
inginkan kadang tak sesuai dengan apa yang ia sampaikan. Dimakan waktu,
kelemahan tersebut menjadi senjata pamungkas untuknya bila terlibat diskusi
kecil-kecilan antara tua dan muda (seorang tua di seksi humas dengan mereka
yang muda). Dalam proses awal, aku beranggapan bila Dika ialah orang yang
pertama kali melepaskan diri dari struktur kepanitian. Dan anggapanku
benar-benar salah, ia membuktikan kesetiaan dan tanggung-jawab yang besar.
Bersama kelemahan macam anak panah yang mampu menancap di bagian mana pun,
kelebihan yang ia lahirkan tampak jelas setelah anak panah menghujam perhatian
kami padanya. Sungguh, rasa perhatian miliknya luar biasa dibandingkan dengan
teman satu seksi bahkan seksi lainnya. Tak mungkin bila seorang yang sibuk
dengan jobdesc dan menuntutnya fokus,
ia tanpa beban menghampiriku dan menawarkan diri untuk menghibur-dalam keadaansibuk
dengan skripsi. Percayalah, ia tampak tulus seperti senyum miliknya yang
sengaja dibuang tanpa pernah meminta dibalas atau dipungut. Selain itu, pernah ia
menawarkan diri untuk membelikan kopi dan rokok, perhatian yang ia tampilkan
sungguh terlalu. Meski kantuk miliknya mengubah segalanya. Luar biasa, kan?
Tiya, berlatar-belakang mahasiswa Mandarin, sebagai orang kedua yang
kuanggap akan melepaskan diri dari sturktur kepanitiaan. Dan nyatanya anggapan
yang salah untuk kedua kalinya. Kelemahan serupa kelebihan, ialah suara yang
cempreng dan menggelegar. Tahu kan bila petir menyambar dan bersuara? Seperti
itu yang aku rasakan selama berkomunikasi dengannya, pun tak hanya aku yang
mendiskripsikan suara miliknya, mereka memiliki pendapat yang sama. Ia
berposisi sebagai anak terakhir (anggapan kami para tua)dalam struktur keluarga
jadi-jadian, memiliki sisi cerewet
yang menyesuaikan posisinya. Dalam rapat ia tak banyak bicara, setelah rapat ia
memunculkan potensi terbesar; cerewet dan bertanya apapun yang ia anggap
basa-basi sekaligusingin mengetahui keadaan yang tengah dikerjakan oleh lawan
bicara. Sifat unik lainnya; tangisan yang sulit dihentikan kadang berbanding
terbalik dengan keceriaan yang sering ia wujudkan tanpa beban. Dua sisi mata
koin. Selain tangis yang ia pendam sebagai kelebihan, sifat polos dan rasa
ingin tahu mampu menjadikan dirinya seorang yang memiliki kesamaan dengan
Socrates. Ia berusaha mengetahui apapun, termasuk buku bacaan (novel) yang
sempat ia pinjam. Ketidaksukaannya pada kopi pahit seakan membuka pintu jahil
dariku dan Dika untuk memaksa Tiya mencicipi, meski berakhir pada memuntahkan
kembali. Sungguh, kehadiran Tiya membuka sifat polos kami untuk berkomunikasi
dan kadang muncul keinginan menjahili. Mulia nian dirimu, Ti.
Dea, seorang koordinator yang di awal kepanitiaan terbentuk kurang mampu
mengkoordinir anggotanya. Bukan karena ketidakmampuan atau karena kemalasan, melainkan
masalah yang tengah mendatangi dan mengetuk pintu sabar miliknya. Ibu tengah
terbaring sakit dan menuntut kehadiran Dea untuk merawat beliau agar lekas
menjumpai sehat. Memiliki kekurangan serupa kelebihan dan mirip dengan Tiya;
suara cempreng dan menggelegar. Apa yang kalian rasakan bila mendengar Tiya
berteriak? Tutup telinga atau berpura-pura tak peduli. Dan bila mendengar Tiya
dan Dea saling lempar suara; maka suara toa atau megacot akan kalah dengan
suara mereka berdua. Sungguh dahsyat.
Eka, tak banyak yang dapat kuuraikan dari seorang Eka selain kerelaannya
menjadi sosok ibu bagi mereka bertiga. Alasan mengapa aku menyebut demikian
ialah selain jumlah atau usai semester lebih tua satu tingkan dari mereka
bertiga, pun di tahun lalu ia mendapat andil serupa dalam kepanitiaan ini.
Menyandang status mahasiswa Bahsa Jawa tentu sikap elegan miliknya menjadi poin
utama selain rasa kantuk berlebihan kadang memeluknya tiap saat.
“Mas, anak-anakmu berisik!” ujar Eka saat bertatap muka denganku.
“Tak masalah. Mending berisik daripada sepi. Iya, kan?”
“He-he. Heeh, Mas. Asal mereka nggak tiba-tiba hilang.”
“Beri kepercayaanmu kepada mereka,” balasku untu meyakinkan Eka.
Menikmati kegaduhan dari dua mulut milik Tiya dan Dea merupakan hal ajaib
baginya. Mana mungkin kebiasaan berdiam diri lantas mendapat rekan satu tim
segila mereka. Hal inilah yang membuat kedekatan antarkepala makin terjalin.
Hoho dan Titus, tak banyak yang dapat kuuraikan amat jelas kepada mereka
berdua. Hal pertama yang membatasi diriku ialah kesempatan mereka datang di
kepanitian dapat dikatakan terlambat. Meski terlambat seolah memperburuk
situasi. Tidak bagiku. Bila mengenal mereka merupakan cara untuk menjalin
ikatan lain. Tentu tanggung jawab mereka tampak jelas meski tak dapat
bergabung, selain tanggung jawab dengan posisi mereka masing-masing. Mereka
bersedia berkabar melalui pesan singkat. Tak apa.
Tentu, hal terakhir yang pantas aku berikan kepada kalian ialah ucapan
terima kasih kerna bersedia mengenalkan diri dan saling berbagi. Kepada doa dan
usaha.
Selamat untuk pencapaian kalian berenam; Eka, Dika, Tiya,
Dea, Hoho, dan Titus. Terima kasih telah bersedia menjadi pengatur lalu-lintas
informasi (humas) untuk kepanitiaan PPAK dan sebagai ucapan terima kasih pula
dari saya -di tahun terakhir menjadi sosok tua- untuk kalian dengan segala
kekurangan yang mampu kalian ubah menjadi komposisi yang menarik, seperti
konsep Nayaga ing Pagelaran dan tema Perangkai Melodi Partitur. Percayalah,
yang kalian lakukan tentu menghasilkan. Apapun itu. Sampai berjumpa lain waktu.
Semarang,
31 Agustus-16 November 2016
setelah
masa pertempuran.
Afriza
Y. Ardias
Posting Komentar
0 Komentar